ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

Para Santri dan Pengurus Pesantren
Kali ini agak sedikit berbeda, namun konteksnya masih sama. Seperti kejadian tempo lalu, peristiwa ini terjadi untuk yang kedua kalinya. Pagi itu, tepat pukul 07.00 WIB, Iza dan Qiqi telah bersiap diri. Dengan berbekal izin dari Umi, mental pas-pasan serta empat lembar lima puluh ribuan mereka berangkat menuju toko buku di kota Senen, Jakarta pusat. Seperti biasa, mereka pergi naik transportasi umum trans Jakarta atau bahasa akrabnya busway.
Sampai di tempat, suasana masih sepi. Beberapa penjual sedang sibuk mempersiapkan barang dagangannya untuk segera dijajakan. Iza dan Qiqi memutuskan untuk berkeliling ke seantero pasar Senen. Setelah kondisi pasar dirasa cukup ramai, barulah mereka pergi ke tempat penjualan buku, kitab dan sejenisnya. Iza yang sebelumnya membuat list nama-nama buku yang akan ia beli segera  menyodorkannya pada salah satu penjaga toko. Sambil menunggu buku pesanannya, ia sibuk memilah-milah koleksi sastra karya Oki Setiana Dewi. Tak lama buku pesanannya datang, tawar menawar harga pun terjadi di tengah-tengah transaksi yang dilakukan oleh Iza dan penjual. Kemudian ia membayarnya dan beranjak pergi.
Mereka kembali berjalan mengelilingi toko buku yang ada di pasar tersebut. Sambil bertanya kepada para  penjual apakah tersedia buku Siroh Nabawi karangan Ibn Hisyam dan kitab Fiqhul Islam wa Adilatuhu karangan Wahbah Zuhaili. Usaha pencarian dua buku tersebut sia-sia belaka alias nihil.
Karena hari semakin siang, mereka pun pulang. Lagi-lagi mereka berpetualang dengan yang namanya busway. Ya, busway-lah yang selama ini setia mengantar mereka, kemanapun mereka pergi khususnya di cakupan wilayah ibukota. Sampai di halte harmoni sentral busway, mereka transit mengambil jurusan Lebak Bulus. Seperti biasa dan sudah menjadi kebiasaan, busway jurusan ke Lebak Bulus lama sekali tiba menghampiri penumpang. Terlihat antrian yang semakin mengular. Iza dan Qiqi akhirnya duduk di bangku panjang yang telah disediakan di halte. Tiba-tiba seorang nenek tua datang menghampiri Iza,
“Nak, nenek boleh meminta sedikit uang untuk ongkos pulang? Tiga ribu rupiah saja, uang nenek sudah habis. Nenek ingin naik angkot”.
“Ehm, sebentar ya, nek. Saya ambil dulu”.
Iza menarik selembar lima ribuan dan diberikan pada  nenek tua.
“Ini, nek ambil saja. Semoga cukup  ya!”
Dengan penuh rasa syukur nenek itu menerima uang pemberian Iza.
“Tapi ini terlalu banyak, nak”.
“Sudah ndak apa, nek”.
“Ya Allah, terima kasih sekali, nak. Semoga Allah memberimu yang lebih baik”.
“Insya Allah, nek. Amiin! Ya udah sekarang nenek segera pulang ya! Hati-hati di jalan!”
“Iya, nak. Sekali lagi terima kasih”.
Meski uang yang Iza punya hanya pas-pasan, ia tetap bersyukur karena ia bisa membantu orang lain yang membutuhkannya. Ia yakin Allah tidak akan tinggal diam.Tak lama, busway datang. Iza dan Qiqi segera masuk dan ikut bergabung bersama penumpang lainnya.
Tiba di asrama, Iza dan Qiqi beristirahat sejenak melepas penat. Tepat pukul 13.00 WIB, Iza mengirim pesan kepada Ahmad untuk menemani dirinya mencari buku pesanan Ustadz di tanah abang. Jam 14.00 WIB, Ahmad dan Jamal menunggu Iza di tepi jalan raya. Sesaat kemudian kopaja nomor 16 datang. Ahmad, Jamal dan Iza segera masuk. Di dalam, seorang kondektur mulai menariki ongkos penumpang. Iza menyodorkan selembar lima puluh ribuan namun ditolaknya. Mungkin terlalu banyak dan tak ada uang kembalian. Kondektur melangkah ke depan menariki ongkos penumpang lainnya. Iza pun bingung karena ia lupa untuk membawa uang receh. Ia kirim pesan ke Jamal, tapi tak dibalas. Ia missedcall tak diangkat juga. Si kondektur kembali datang meminta ongkos. Kembali ia menyodorkan selembar lima puluh ribuan, namun  lagi-lagi ditolaknya. Sambil mengancam jika tidak segera membayar ongkos, maka Iza harus mau diturunkan dari kopaja. Ia bertambah panik dan semakin panik. Sampai akhirnya seorang bapak yang sedari tadi memperhatikan Iza menyerahkan selembar sepuluh ribuan pada sang kondektur sebagai pengganti ongkosnya tadi. Mungkin bapak tersebut iba melihat seorang gadis diperlakukan seperti itu. Padahal Iza sendiri telah berusaha membayar ongkosnya. Dengan penuh rasa syukur, Iza mengucap terima kasih pada bapak tersebut. Dalam hati ia berdoa, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik. Iza senang bukan main karena ia tak jadi diturunkan dari kopaja. Jika hal itu benar-benar dilakukan oleh sang kondektur, betapa malunya ia.
Tiba di pasar tanah abang, Ahmad, Jamal dan Iza turun dan berjalan kaki menuju toko buku. Toko buku pertama yang mereka datangi yaitu yang di dekat masjid jami’ al-Makmur. Iza bertanya pada penjual apakah menyediakan buku pesanannya. Ternyata jawabannya tidak ada. Ahmad mengajaknya untuk pindah ke toko buku yang ada di seberang jalan raya. Dari empat toko buku yang mereka datangi, hanya satu yang menyediakan kitab pesanannya, itupun tidak sama persis seperti yang dipesannya.
Hari semakin sore, matahari semakin condong ke ufuk barat. Mereka akhirnya pulang. Namun di tengah perjalanan Iza berhenti di depan penjual buah naga dan membeli 1 kg. Sementara Ahmad dan Jamal mampir ke blok G pasar tanah abang. Mereka membeli baju batik sesuai selera mereka. Iza menunggu di luar sambil mengamati orang-orang yang berlalu lalang di jalanan.
Ahmad dan Jamal datang menghampiri Iza yang sejak tadi berdiri mematung lalu mengajaknya pulang. Mereka menyusuri jalan sambil menunggu kopaja nomor 16. Tak lama kopaja datang, lambaian tangan Jamal memberhentikan kopaja dan mereka segera masuk untuk melanjutkan perjalanan pulang.  
 
Nur Rahma Sari
santri Pesantren Ekonomi Darul Uchwah

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Post a Comment


Top